15 October 2018
Bali, Indonesia

On the eve of International Day of Rural Women, over 200 grassroots women workers, farmers, land and resource rights defenders from Asia gathered in Bali, Indonesia to hold a feminist carnival. The event held on the sidelines of World Bank and International Monetary Fund annual meetings strongly condemned the current destructive development model propagated by them because it pushes for liberalisation, privatisation and globalisation and holds the Bank and IMF guilty, for exploiting the world’s poor, particularly women.

Widya Ramayanti, SERUNI, Indonesia said, “I work in a palm oil plantation in Riau, Indonesia where massive land grabbing is being carried out by a large palm oil corporation. And these land grabbing is being funded and supported by the World Bank. In defending our land, many people in my community are faced with intimidation, and of course women who are at the centre of this. Not just me but many other women in our community who is fighting to defend our land.”

Both the Bank and the IMF have had a history imposing policies on countries that has left a long lasting and systematic impact on women. Erwiana Sulistyaningsih, Kabar Bumi, Indonesia said “Because of decades of IMF policies in Indonesia, many people including my family do not have land and resources for our livelihoods. Poverty forced me to migrate abroad as a domestic worker where I faced traumatic abuses by my employer. Despite many migrant workers facing the same situation as myself, the World Bank continues to work with the Indonesian government to promote labour export policies which they claim can reduce poverty. However, such claim contradicts the harsh reality that we migrants have to face.”

Wardarina, Asia Pacific Forum on Women, Law and Development, Thailand said, “We know that the current global model of development promoted by World Bank and IMF,  does not work for women as we continue to bear the brunt of world crises in economy, energy, food, environment, climate and deepening poverty. If we don’t act urgently to provide alternative models of development that works for women, we will see the crises escalating further.”

The women from diverse communities also criticised the pinkwashing by the Bank and the IMF. While both institutions continue to introduce so-called gender equality projects and proposals, these proposals are band-aid solutions that will not bring about gender equality unless the larger and broader problems of the Bank and the IMF are addressed.

“There’s no peoples’ sovereignty without women’s sovereignty. We don’t believe with World Bank and IMF’s proposal on women’s economic empowerment as it focuses only on making women compete in the market and access financial services. Women can only be empowered when they have the full autonomy and sovereignty in political, social and economic decision-making processes. We also need to acknowledge that women, together with communities have the capacity to manage natural resources oriented to environmental and ecological justice and don’t need the Bank and IMF to tell them how to do it,” said Dinda Nuurannisa Yura, Solidaritas Perempuan, Indonesia.

It’s time that governments in this region move towards a just and sustainable economic model of Development Justice that puts the interests of rural and indigenous women before corporate agenda and upholds the protection of their rights.

Earlier on 13th October, diverse women’s groups from Asia held a sacred Balinese ritual named Tolak Bala to denounce World Bank and International Monetary Fund.

Additional Resources

  1. What is Development Justice
  2. The Road to Development Justice – Video
  3. Why are Feminists Resisting World Bank and International Monetary Fund

About APWLD

Asia Pacific Forum on Women, Law and Development (APWLD) is a leading network of feminist organisations and grassroots activists in Asia Pacific. Our 235 members represent groups of diverse women from 27 countries in Asia Pacific. Over the past 32 years, APWLD has actively worked towards advancing women’s human rights and Development Justice. We are an independent, non-governmental, non-profit organisation and hold consultative status with the United Nations Economic and Social Council.

Facebook: apwld.ngo  Twitter:@apwld, Instagram: apwld_

For any press queries, interviews and further information, please contact

Neha Gupta

neha@apwld.org

+62-813-3702-8069/+66 95-528-2396

Languages: English, Hindi

 

Andita Listyarini

andita@apwld.org

+62-813-1725-4384/+66-826-859 263

Languages: English, Bahasa Indonesia


Siaran Pers: Kaum Perempuan Menentang Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional di Hari Perempuan Pedesaan Internasional

Bali, Indonesia
15 Oktober 2018

Satu hari sebelum Hari Perempuan Pedesaan Internasional, lebih dari 200 perempuan dari komunitas akar rumput yang merupakan buruh, petani, dan pejuang hak tanah dan sumber daya  dari seluruh Asia berkumpul di Bali, Indonesia untuk mengadakan sebuah acara karnaval feminis. Acara yang berlangsung bersamaan dengan pertemuan tahunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional ini merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap model pembangunan destruktif yang diusung kedua lembaga tersebut karena  hanya akan mendorong liberalisasi, privatisasi dan globalisasi. Bank Dunia dan IMF ditanyakan bersalah karena telah mengeksploitasi kaum miskin, terutama perempuan.

Widya Rahmayanti dari SERUNI, Indonesia, berkata “Saya bekerja di perkebunan kelapa sawit di Riau dimana terjadi perampasan tanah skala besar yang dilakukan perusahaan kelapa sawit. Perampasan tanah ini didanai dan didukung oleh Bank Dunia. Banyak penduduk desa saya, terutama perempuan, yang memperjuangkan tanah kita diancam dan diintimidasi. Saya bukan satu-satunya perempuan yang mengalami hal ini, tetapi banyak juga perempuan lain di desa-desa lain yang bernasib sama.”

Baik Bank Dunia maupun IMF memiliki sejarah mengimplementasi kebijakan di berbagai negara yang memberi dampak berkepanjangan terhadap perempuan. Erwiana Sulistyaningsih, dari Kabar Bumi, Indonesia mengatakan “Karena kebijakan IMF yang berlangsung selama berpuluh-puluh tahun ke belakang, keluarga saya kehilangan tanah dan sumber daya untuk kelangsungan hidup kita. Kemiskinan membuat saya terpaksa bermigrasi ke luar negeri sebagai buruh domestik dimana saya mengalami kekerasan yang sangat traumatis yang dilakukan mantan majikan saya. Walaupun banyak buruh migran yang hingga saat ini mengalami masalah yang sama, Bank Dunia terus bekerja dengan pemerintah Indonesia untuk mempromosikan kebijakan ekspor buruh yang mereka klaim dapat menuntaskan kemiskinan. Klaim-klaim seperti itu sangat berlawanan dengan realita keras yang kami para buruh harus hadapi.”

Wardarina, dari Asia Pacific Forum on Women, Law and Development, Thailand berkata “Kita tahu bahwa model pembangunan global sekarang yang didorong oleh Bank Dunia dan IMF tidak membuahkan apapun terhadap perempuan karena kita harus terus menopang beban dari krisis ekonomi, energi, pangan, lingkungan, iklim dan kemiskinan. Jika kita tidak melakukan apa-apa untuk mendorong model ekonomi alternatif yang berpihak pada perempuan, krisis-krisis ini akan semakin memburuk.”

Para perempuan dari berbagai sektor ini juga mengkritisi Bank Dunia dan IMF soal klaim dua institusi ini terkait kesetaraan gender. Kedua lembaga terus memperkenalkan proyek dan proposal kerja yang terlihat manis bagi perempuan namun kenyataannya hal itu hanya merupakan solusi sementara yang tidak akan merealisasikan kesetaraan gender kecuali mereka dapat memecahkan masalah-masalah yang lebih besar dan sistemik.

“Tidak ada kedaulatan rakyat tanpa kedaulatan perempuan. Kami tidak percaya dengan proposal Bank Dunia dan IMF soal pemberdayaan ekonomi perempuan, karena hanya berpusat pada akses perempuan terhadap layanan finansial dan kompetisi pasar. Pemberdayaan perempuan hanya akan terjadi jika kami memiliki otonomi dan kedaulatan penuh dalam proses pengambilan keputusan di bidang politik, ekonomi dan sosial. Kita juga harus menyadari bahwa perempuan, bersama dengan masyarakat lainnya, memiliki kapasitas untuk mengelola sumber daya alam demi keadilan ekologis dan kelingkungan jadi kita tidak butuh Bank Dunia dan IMF untuk mendikte kita soal ini,” kata Dinda Nuurannisa Yura, Solidaritas Perempuan, Indonesia.

Sudah saatnya pemerintah-pemerintah di kawasan Asia dan Pasifik bergerak menuju model ekonomi yang adil dan berkelanjutan, model yang dinamakan Pembangunan yang Berkeadilan (Development Justice), model yang mengutamakan kepentingan perempuan pedesaan dan masyarakat adat daripada kepentingan perusahaan dan yang melindungi hak asasi mereka.

Sebelumnya pada tanggal 13 Oktober, berbagai organisasi hak perempuan dari seluruh Asia mengadakan upacara khas Bali yang bernama Upacara Larung untuk mengkritisi Bank Dunia dan IMF.

Tentang APWLD

Asia Pacific Forum on Women, Law and Development (APWLD) adalah sebuah jaringan organisasi hak perempuan dan aktivis akar rumput di seluruh Asia Pasifik. Kami memiliki 235 anggota yang mewakilkan perempuan dari 27 negara di Asia Pasifik. Selama 32 tahun, APWLD telah bekerja dengan aktif untuk memperjuangkan hak perempuan dan Keadilan Pembangunan. Kami adalah organisasi independen, non-pemerintah, non-profit dan memiliki status konsultatif dengan Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Facebook: apwld.ngo  Twitter:@apwld, Instagram: apwld_

Untuk pertanyaan pers, wawancara dan informasi lainnya, silakan hubungi

Neha Gupta

neha@apwld.org

+62-813-3702-8069/+66 95-528-2396

Bahasa: Bahasa Inggris, Hindi

 

Andita Listyarini

andita@apwld.org

+62-813-1725-4384/+66-826-859 263

Bahasa: Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia